Huah, begitu mendengar wafatnya penyair senior Indonesia, Joko Pinurbo, rasanya ada rasa sakit yang tidak bisa didefinisikan. Rasanya seperti dicubit tapi pelan, tepat di jantung sini, apa ya istilahnya, mencelos. Rasanya aku mendadak hampa, tak ada lagu buku puisi baru dari Joko Pinurbo yang lucu dan unik. 

joko pinurbo
sumber: Kompas

Dunia industri buku dan sastra di Indonesia emang sama sekali gak seksi, gak menjanjikan, dan gak punya pangsa pasar yang besar, apalagi jalur puisi. Aku pun sebagai pembaca termasuk gak bisa menikmati karya puisi, karena menurutku kalimatnya terlalu rumit untuk dipahami. Nah, puisinya Joko Pinurbo jauh dari kata rumit. Kalimatnya sederhana, bermakna, sekaligus lucu. 


Wawancara Joko Pinurbo dengan Najwa Shihab di Youtube juga lucu sekali menurutku. Ada bagian Najwa menanyakan tentang karya puisi yang sangat Jokpin sukai. Dengan santai ia menjawab terlalu bingung untuk memilih karena banyak sekali karyanya yang ia sukai. Najwa menjawab lagi, “Wah memang rendah hati sekali Mas Jokpin ini.”


Mas Jokpin yang lucu menimpali, “Sekali-sekali penyair harus bangga dengan karyanya, karena tidak ada lagi yang bisa dibanggakan selain itu, rejeki ya juga tidak jelas. “ Di situ mas Jokpin membacakan karya puisinya yang berjudul Kamus Kecil.




Kamus Kecil


Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu walau kadang rumit dan membingungkan. 

Ia mengajari saya cara mengarang ilmu 

sehingga saya tahu bahwa 

sumber segala kisah adalah kasih; 

bahwa ingin berawal dari angan; 

bahwa ibu tak pernah kehilangan iba; 

bahwa segala yang baik akan berbiak; 

bahwa orang ramah tak mudah marah;


bahwa seorang bintang harus tahan banting; 

bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih; 

bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa; 

bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan; 

bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira, 

sedangkan pemulung tidak pelnah melasa gembila; 

bahwa lidah memang pandai berdalih; 

bahwa cinta membuat dera berangsur reda; 

bahwa manusia belajar cinta dari monyet; 

bahwa orang putus asa suka memanggil asu; 

bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman. 


Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku ke sebuah paragraf yang tersusun di atas tubuhmu. 

Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk bertingkat yang panjang di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat. 

Ketika induk kalimat bilang pulang, anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung. 

Ruang penuh raung, segala kenang tertidur di dalam kening. 

Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.


Lucu sekaligus dalem banget, kan? Hiks. 


Aku sendiri baru baca dua karya mas Jokpin, Buku Latihan Tidur dan Perjamuan Khong Guan. Salah satu puisi yang aku suka di buku Perjamuan Khong Guan adalah Kopi Koplo.


Kopi Koplo


Kamu yakin 

Yang kamu minum

Dari cangkir cantik itu

Kopi?


Itu racun rindu

Yang mengandung aku.


Dengan sengaja memilih puisi sebagai jalur karya bukanlah pilihan yang mudah. Aku jadi ingat drama korea yang berjudul Romance is A Bonus Book. Di sini dijelaskan sedikit tentang industri buku yang cukup keras. Ada penyair senior di sana yang meninggal bunuh diri karena alasan karyanya gak lagi relevan dengan pop culture. Ada juga kisah tentang nasib buku-buku yang gak laku berakhir dengan dihancurkan dan menjadi kertas kiloan. 


Pergerakan industri buku beserta penggeraknya, termasuk penulis dan penerbit, seharusnya bisa dilindungi oleh negara. Lewat buku, isi pikiran manusia, kisah sejarah, pergerakan, skandal, kisah kelam, bahagia, dalam skala personal maupun negara dicatat dan diturunkan pada anak cucu di masa depan. Aku pun yang mengaku suka baca buku sudah lama tidak melakukannya dalam sebulan ini. Ada begitu banyak distraksi yang membuat baca buku gak lagi terlihat asyik seperti dulu.    


Baca buku sudah seharusnya jadi keseharian, baca artikel gosip sampai selesai, baca opini penulis yang kita sukai, baca jurnal penelitian, baca Buku Latihan Tidur punyanya Mas Jokpin, sampai baca kisah cinta duke dan duchess di novel harlequin. Membaca gak melulu tentang beban belajar atau beban pekerjaan, tapi juga tentang pencarian jati diri, penghiburan, dan pelarian dari realitas yang kadang melelahkan.


Selamat jalan mas Jokpin, karyamu abadi.


Baca juga: Pelatihan Menulis Lucu oleh Agus Mulyadi