Beberapa hari yang lalu aku tersesat di sebuah blog yang rasanya terlalu ilmiah. Blog itu membahas secara detail perkembangan hama di tanaman jeruk yang baru saja ia beli. Sungguh sebuah passion yang terlalu unik. Untuk yang tertarik dengan perkembangan hama jeruk dan penasaran pengen baca ada di artikel Kupu-kupu Jeruk.

Penulisnya secara detail menjabarkan perkembangan hama jeruk, mulai dari fase larva, pupa, sampai ia menjadi imago dan kembali terbang meninggalkan tanaman jeruk yang baru ia beli menjadi bopeng-bopeng. Aku yakin setengah mati pasti penulisnya bukan emak-emak macam aku. Dan ternyata, penulisnya adalaaaah…. mantan dosenku yang sudah pensiun.


umur menulis

Setelah membaca blog beliau, aku merasa ingin hidup yang lama, menikmati momen dan menulis sampai mati, hahahaha. Tanpa bertemu dengan beliau pun rasanya aku paham bagaimana beliau mengisi hari tuanya dengan kegiatan yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Waktu yang berlimpah, fisik yang cukup sehat sehingga masih bisa bercocok tanam dan menulis dengan begitu rapi, anak-anak yang mandiri, serta finansial yang mungkin cukup sehat, sehingga beliau bisa menumpahkan passionnya dengan bebas dan bahagia. Sebuah mimpi yang perlu ditiru!


Bicara soal menulis sampai tua, aku jadi ingat tentang pepatah ‘Menulis adalah pekerjaan untuk keabadian’. Rasanya satu kalimat ini bisa diartikan menjadi begitu banyak makna. Buat aku sendiri, quotes ini lebih bermakna ke arah keabadian bagi diri sendiri. 


Yah, terkenal dan menjadi abadi karena tulisannya disukai banyak orang memang menyenangkan. Tapi kan ya hal itu gak bisa diraih oleh semua orang. Hal yang paling mudah dilakukan adalah menyukai karya milik diri sendiri. Mungkin memang terdengar seperti pembenaran atas sebuah kegagalan. Tapi, ya gitu, itu memang adalah sebuah pembenaran. Hahahaha.


Ada satu cerita dari penulis Honey Dee di FB nya. Kisah lengkapnya aku gak gitu ingat karena postingan lama, tapi intinya adalah dia menceritakan tentang temannya yang jadi depresi karena tulisannya tidak kunjung laku. Temannya ini menulis buku, menerbitkan secara mandiri, sekaligus memasarkannya. Karena tak kunjung laku, hal ini turut memengaruhi kondisi mentalnya. 


Usaha untuk menulis sebuah buku memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Sudah begitu, proses risetnya pun melelahkan. Makanya, ketika hasil yang diharapkan tidak kunjung datang, pantas saja hal ini bisa cukup membuat mental jadi kacau. saran aku sih jangan keluarkan uang untuk menulis jika masih merasa di level bawah. Jika kita masih merasa kita adalah satu-satunya orang yang menyukai karya sendiri, maka jangan keluarkan uang untuk itu. Jadikan saja kegiatan menulis untuk hobi di kala santai. 


Jika ingin menulis jadi kegiatan yang menghasilkan uang, coba cari pekerjaan saja di bidang menulis, seperti ghost writing atau penulis website. Meskipun bayarannya memang cukup rendah, tapi pengalaman menulisnya bisa jadi ajang latihan untuk mempertajam gaya tulisan dan memperkaya kosa kata. Lumayan lah.


Ketika sudah merasa naik tingkat, bisa tuh coba-coba menulis di website berbayar yang pakai kurasi, seperti Mojok, BasaBasi, Sediksi, dll. Bayarannya lumayan tinggi, bisalah untuk beli lauk dan tempe untuk seminggu.


Setelah habis-habisan memuji dosenku yang sudah sepuh tapi masih terus menulis sampai sekarang, aku dan suamiku membahas mengapa pohon mangga di depan rumah tidak kunjung berbuah. Sebagai sesama sarjana pertanian, pembahasan kami menghasilkan sebuah solusi untuk mangga yang tidak produktif: tebang lalu semen. 


Baca juga: Update Tumpukan Buku yang Belum Terbaca April 2024