Gara-gara tema matahari saya jadi ingat sama bunga matahari yang saya tanam bareng anak di depan rumah. Demi mimpi bisa foto selfie sama bunga matahari, saya mengiming-imingi anak untuk sama-sama excited dengan agenda menanam bunga matahari bersama. 

tanam bunga matahari

Ajaibnya lagi adalah seolah semesta mendukung agenda ini dengan adanya sebuah peristiwa yang cukup unik untuk dibilang kebetulan. Teman kerja saya di kantor yang emang suka belanja aneh-aneh di Shopee kebetulan membeli benih bunga matahari berlebih dan ia memberikannya untuk saya sebungkus. Mak jang, saya dapat benih bunga matahari gratis!


Jadi demi cita-cita bunga matahari, saya membeli kompos sekarung pas perjalanan pulang dari kegiatan kantor. Pokoknya agenda tanam bunga matahari mesti berjalan! Ceileh…


Singkat cerita, semua bahan yang dibutuhkan sudah siap, benih ada… kompos ada… pot ada… yang belum ada adalah realisasinya. Maka minggu ini saya sama bocil yang sudah nagih melulu dari awal bulan akhirnya sama-sama menanam bunga matahari yang legendaris ini! Yeay.


Demi cita-cita bunga matahari, saya sama bocil mencabut rumput, menabur kompos, dan menanam benih di tengah matahari pagi. Suami saya yang emang gak hobi begituan, cuman nonton dari teras sambil minum air es. Mantap!


Waktu berlalu, musim hujan yang menggalau kini berlalu jadi musim kering yang sama-sama galaunya. You know lah ya, bocilku yang masih anak piyik ini jelas tidak akan berhenti melemparkan pertanyaan yang sama tiap minggu, “Kapan bunga mataharinya tumbuh, Bunda?’


Ketika tepat pertanyaannya yang ke 52, akhirnya saya mulai ragu dan menggalau juga. Apakah benih yang saya tabur akan tumbuh seperti harapan? Apakah mereka akan mati sama seperti harapan dan cita-cita yang terkubur oleh kebutuhan hidup? Wkwk. 


Pada bulan kedua, akhirnya ada satu tunas yang tumbuh di dalam pot. Saya sama bocil langsung sumringah. Dengan rajinnya, kami menyiram tunas itu dengan rajin sampai akhirnya saya mulai galau lagi saat mendengar komentar suami, “Emangnya itu tunas bunga matahari? Kayanya itu gulma deh.”


Saya langsung semaput. Kayanya emang ekspektasi dan harapan saya yang ketinggian, jadi nggak bisa melihat realitas dengan jelas. 


Anak saya si bocil masih belum bosan melempar pertanyaan yang sama, “Bunganya kapan tumbuh, Bunda.”


Bundanya yang serba tidak sempurna hanya bisa menjawab, “Tidak tahu, nak. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.”


Hikmah dari Bunga Matahari


bunga matahari

Rasanya saya lumayan malu jadi orang pertanian tapi nggak gagal nanam bunga matahari. Apa saya kebanyakan megang cendawan antraknosa sehingga benih yang saya tanam jadi pesakitan muda yang akhirnya mati sebelum berkembang? Entah, saya pun tak tahu. Mari tanya kembali pada rumput yang bergoyang.


Momen begini saya jadi ingat atasan saya yang juga mengeluh hal yang sama. Bunga yang ia beli mati muda, tanpa pernah menunjukkan potensinya. Hidup emang gitu, suka nggak terduga. Peribahasa, “Apa yang kita tanam, itu pula yang kita tuai” agaknya nggak gitu berlaku. 


Lantas, apakah kita akan berhenti menanam bunga matahari, dan menggantinya dengan menanam gulma saja? Hmm...


Kalimat Terakhir Sebelum Cuci Piring


Wkwk, saya emang rada kesel sih sama kejadian bunga matahari yang nggak tumbuh itu. Hiks, padahal kan pengen banget posting Ig story pakai latar bunga matahari! Mungkin karena niatan gitu, bunganya ogah numbuh kali, ya.


Belakangan ini saya lagi absen nulis, absen baca juga. Pokoknya lagi nggak produktif. Entah kenapa. Sepertinya proses membacaku lagi terhambat karena sedang terlalu banyak pilihan. Saved The Cats, Psikologi money, Suicidal Day, dll cuman jadi tumpukan buku yang nggak tersentuh.


Saya malah baca webtoon yang memanjakan mata dan minim konflik (review webtoon nya bisa dibaca di link bawah ini). Baca webtoon yang so swit dan santai rasanya bisa jadi pelampiasan segala ketidaknyamanan dalam benak hati. Udah ah, saya mau beli sabun, ada agenda cuci piring yang mesti ditunaikan.  


Baca juga: Must Be A Happy Ending, Sebuah Manhwa Travel time yang Mengharu Biru