Anak saya yang pertama memiliki karakter yang cukup unik. Ia termasuk anak-anak yang cukup penakut yang anehnya karakter ini terlihat sedari bayi. 

Ia takut belajar jalan, sehingga ia langsung berdiri saja ketika umurnya satu setengah tahun. Ia takut jatuh sehingga ia begitu hati-hati. Bisa dibilang, dibandingkan adiknya, anak yang pertama ini memang jarang kejedot atau terjungkal. Mungkin di masa depan, anak saya bakalan jadi financial planner atau jadi remaja yang takut jatuh cinta, wkwk.


Rasa Takut di dalam Film dan Buku 


takut menulis

Bicara soal rasa takut, saya rasa film 3 idiots bisa memberikan gambaran yang tepat. Tokoh utama Aamir Khan ngejelasin kan di sana bahwa hati itu mudah ditipu. Bukan ditipu dengan cinta, wkwk, tapi mudah ditipu dengan rasa takut. Sedikit hal saja sangat mungkin untuk membuat hati dan pikiran jadi overthinking.


Makanya, Aamir Khan mengajari kita penontonnya untuk menenangkan hati ketika terjadi hal yang di luar dugaan dengan kata-kata “All is Well”. Pernah mencobanya, bunda?


Di buku yang entah judulnya sudah saya lupa, (antara Seni Bersifat Bodo Amat atau Loving The Wounded Soul), ada materi yang juga bagus untuk mengatasi rasa takut yang muncul. 


Katanya buku itu sih, rasa takut serta pikiran buruk yang mendera manusia memiliki kemungkinan terjadi cukup kecil, paling hanya 20%. Walaupun beneran terjadi, rata-rata manusia sudah bisa menghadapinya dengan baik. Gitu, deh.


Artikel terkait: Buku Loving The Wounded Soul, Memandang Depresi dari Sudut yang Baru


Rasa Takut dalam Menulis


takut menulis



Di awal proses menulis, tentu saya punya berbagai macam ketakutan. Takut nggak bagus, takut tulisannya berasa tinggi hati, takut nggak ada yang baca, takut kalau kamu meninggalkan aku pas lagi sayang-sayangnya, aih!


Tapi, makin ke sini ketakutan itu semakin nggak berasa. Buat saya, menulis bukan lagi proses pembuktian ke orang lain, tapi jadi pembuktian ke diri sendiri bahwa memang hal ini yang saya suka lakukan di waktu luang. 


Setelah saya berdamai dengan pelbagai ketakutan, saya mulai menyusun target yang sekiranya bisa dilakukan dengan leluasa di tengah aktivitas sehari-hari. Pada akhirnya, saya nyemplung ke komunitas menulis supaya bisa berkembang dan berteman dengan orang hobinya sejenis.


Berdamai dengan Ketakutan dalam Diri


takut

Buku Seni Bersikap Bodo Amat emang lumayan punya peran sih dalam mengenyahkan semua kekhawatiran di dalam diri. Lucunya, dengan menyadari bahwa diri ini bukanlah apa-apa dan nggak masalah untuk ‘tidak jadi apa-apa”, saya jadi lebih santai untuk membuat target-target yang tujuannya sangat simple: mengisi waktu luang.


Kata buku gila ini juga nggak perlu ribut serta pusing soal hasil dan takdir. Semua hal yang berada di luar kendali hanya akan jadi beban seumur hidup kalau terus-menerus dipusingkan. Lebih baik ya melakukan hal yang bisa dikendalikan.


Hal ini sesuai kan ya sama pelajaran yang bisa diambil dari buku Filosofi Teras. Dibanding pusing sama hal bernama takdir, tentu lebih baik melakukan hal-hal yang bisa diusahakan dengan tangan ini sendiri, misalnya menyusun relasi, melakukan usaha, dan membuat goal.


Saya jadi ingat sama kata-katanya Puthut EA, itu loh penulis yang juga pemilikinya website Mojok. Kata beliau, di sudah buat cerpen sedari muda. Kumcernya udah banyak dan nggak semuanya bisa dijual. Ia bilang di medsosnya bahwa tujuan ia menulis adalah untuk memuaskan diri sendiri. Rasanya, saya paham akan perasaan itu sekarang,


Ah iya, berdoa tentu sangat perlu dilakukan, Saya rasa doa adalah harapan untuk bisa membuat diri jadi lebih tenang dengan rasa takut. Ada pengharapan baik di sana, ada kedekatan dengan Sang Pencipta, dan ada rasa untuk pasrah terhadap takdir.


Feedback dan Apresiasi


takut

Saya pernah menuliskan sedikit curhatan galau yang diposting di website Mojok juga tentang beratnya kehidupan ibu pasca melahirkan. Ketika itu ada satu teman saya yang juga ikut berkomentar di artikel itu yang isinya masih saya ingat sampai sekarang.


Kira-kira isinya gini: makasi udah nulis begini, rasanya jadi terasa lebih ringan. I can feel it too.


Satu komentar gini aja udah buat saya bahagia bahwa saya sudah berbagi hal seperti ini. Apresiasi tentu bisa membuat kita jadi makin berani menulis. Tapi, kalau nggak ada apresiasi dari orang lain, pastikan untuk mengapresiasi diri sendiri. Bagaimanapun, yang paling tahu effort yang sudah dilakukan untuk menulis, ya diri sendiri, bukan orang lain.


Baca juga: 5 Tips Kegiatan Healing untuk Ibu Rumah Tangga