Kemarin, aku menemukan kondom unik di minimarket. Bungkusannya berwarna coklat, sekilas mirip dengan camilan nikmat nan manis yang suka aku beli ketika pulang kantor. Dari label harga di rak terlihat bahwa harganya sedang murah karena promo. Tanpa ragu, aku mengambilnya dan membawanya langsung ke meja kasir.

Saat membeli kondom untuk pertama kali, jujur aku merasakan perasaan seperti rasa malu dan sedikit rasa hina. Perasaan ini muncul bukan karena aku akan menggunakan kondom ini dengan laki-laki yang berstatus suami dan ayahnya orang lain. Aku merasa seperti ini hanya karena ini pertama kalinya aku membeli alat kontrasepsi sendiri.


cerpen kondom rasa cokelat

Aku tersenyum sepanjang jalan pulang memikirkan tentang apa penjelasan yang harus aku berikan padanya tentang kondom rasa cokelat ini. Dia pasti akan mengolok-oloknya sepanjang hari. Mungkin dia akan mengatakan bahwa bahwa aku adalah wanita genit dan penuh nafsu, lalu ia akan memelukku lalu mengangkatku ke kasur. Mungkin, ia juga akan tergelak sampai perutnya sakit karena mengira aku menginginkan seks oral gara-gara membeli kondom dengan varian rasa yang aneh-aneh. Hubungan kami memang sesantai itu.


Aku sangat menikmati keintiman ini. Aku senang mengetahui bahwa aku ternyata diinginkan, dibutuhkan, dan dan dicintai sebegininya oleh seseorang sampai ia bisa mengesampingkan istri dan anak-anaknya. Di sisi lain, ia pun pasti bahagia karena ia sangat tahu, bahkan kelewat tahu, bahwa di dalam hidupku yang terlampau sepi, ia adalah cahaya. Aku menginginkan cahaya itu tetap terang tapi temaram. Aku tidak menginginkan cahaya itu untuk kusimpan di rumah untukku sendiri. Aku biarkan ia dengan kehidupannya sehingga ia tetap memiliki cahayanya sendiri yang tak pernah redup. 


Aku paham bahwa ia akan selalu memilih keluarganya dibandingkan aku, meski janji untuk bersama selalu ia bisikkan ribuan kali. Aku bukan orang bodoh. Aku memahami kebohongan itu. Arti diriku baginya mungkin sekedar ruang yang nyaman untuk dipakai istirahat. Dirinya terlampau lelah sehingga tak bisa rehat, bahkan setelah sampai di rumah. Istrinya yang penuntut, mertuanya yang meminta terlalu banyak, anak-anak yang yang selalu mengeluh kurang. 


Bukan hanya di rumah, di ranah pekerjaan pun semuanya terasa sulit. Atasan yang sulit dipuaskan, teguran kinerja, tuntutan proyek, laporan yang menggunung. Semua hal terasa seperti jalan terjal. Makanya, di sinilah kami berdua sepulang kerja, di ruang sempit yang kami sewa berdua untuk makan bersama, tertawa, mengeluh, dan menjelek-jelekkan bos dan rekan kerja bajingan.


Aku masuk ke dalam ruangan kami bersama. Dia sedang duduk yang menggaruk kepalanya di atas kasur, sama sekali tidak menyadari aku masuk ke dalam ruangan. Aku meletakkan plastik dari minimarket yang berisi kondom, jajanan, dan es kopi.


“Kenapa Mas?” Aku memanggilnya karena melihat jidatnya berkerut terus-menerus.


“Ah,” Dimas menoleh dan akhirnya melihatku. “Anakku buat masalah lagi di sekolah, Nya. Ah, dia sampai dipanggil Guru BK.”


“Memangnya dia buat masalah apa lagi?”


Dimas menggaruk kepalaku yang tak gatal, terlihat gelagatnya yang tak nyaman. Mungkin ini masalah serius.


“Dia ketahuan bawa rokok ke sekolah.” 


Dimas terus memperhatikan telepon genggamnya. Jemarinya sibuk mengetikkan kalimat yang aku tidak bisa perkirakan. Mungkin ia sedang mengirim, pesan ke istrinya tentang siapa yang harus ke sekolah. Mungkin juga ia sedang meminta maaf pada para guru. Mungkin ia sedang memarahi anaknya. Mungkin kondom cokelat harus tertunda untuk hari ini.


Aku membawakan es kopi dan segera menyembunyikan bungkusan kondom cokelat di dalam plastik belanjaan agar ia tidak melihatnya. Dimas menerima es kopi sembari menggenggam tanganku.   


“Anya, kamu gak marah kan kalau aku harus pulang cepat hari ini. Aku gak bisa menginap malam ini. Aku harus ada di rumah.”


Aku tahu. Bahkan, sebelum Dimas mengatakan hal ini, aku sudah tahu bahwa Dimas memang akan selalu memprioritaskan keluarganya. Bahwa Dimas akan selalu selamanya menyayangi anaknya. Bahwa aku selamanya akan selalu menjadi tempat istirahat sementara. 


“Pulanglah, sayang. Kasihan anakmu. Pasti sekarang dia lagi dimarahi mamanya.” aku tersenyum palsu, menyembunyikan kekecewaan yang sedalam samudra. 


Dimas meminum es kopi favoritnya hanya seteguk. Ia memungut dasinya yang terlepas di meja kamar, menyimpan telepon genggam, charger, dan kunci mobil. Ia menciumku singkat di pipi dan langsung pulang ke rumahnya, pulang ke rumah yang ia benci tapi tak bisa ia lepas.


Setelah pintu tertutup, aku memandangi kehampaan dalam kamar dengan merana. Harapanku menguap menjadi kekosongan. Mungkin seperti inilah nasib menjadi simpanan. Mungkin inilah nasib menjadi selingkuhan. Aku yang memilih jalan sulit ini sendiri, maka aku akan menelan semua halang rintangnya. 


Pukul 1 dini hari, Dimas mengirimkan pesan singkat. 


Anya, sudah tidur?

Aku yang hanya melamun dan scrolling media sosial sedari tadi langsung senang begitu mendapat pesan singkat itu.


Belum, gimana Arga?


Seperti biasa, mamanya sudah memarahinya habis-habisan. Aku hanya tinggal memberikan hukuman potong uang jajan. Sudah selesai. Kamu ngapain? Aku kangen.


Halah, kangen tapi toh kamu gak bisa ke sini, aku menjawabnya dalam hati tapi mengetik pesan balasan lain. Aku juga kangen, Mas.


Besoknya, Dimas kembali datang dengan membawa dua es kopi, gorengan pangsit favoritku, dan tentunya sebungkus kondom normal. Aku terdiam melihat isi bungkusan plastik yang ia bawa. Sudah pasti Dimas akan meminta hubungan intim mengingat masalah Arga di rumahnya. JIwanya lelah sehingga raganya kehausan meminta kelekatan fisik. Tapi, aku juga lelah dipinggirkan. Aku lelah menyimpan kelelahanku di dalam hati. 


Aku tidak mendesah, aku tidak bergerak, aku terdiam bagaikan batang kayu yang tak punya nyawa. Dimas terlihat tak puas dan bertanya, “Apakah kamu sakit?”


Aku melamun ke arah langit-langit, aku enggan melihat wajahnya. Aku menatap nanar plafon putih yang ada di belakang wajah Dimas. Aku tidak bisa menebak emosi apa yang ada di wajahnya sekarang, kecewa karena seks yang menyedihkan atau khawatir karena aku yang tidak bersemangat. Mungkin lebih ke yang pertama.


Aku tersenyum palsu (lagi). Setelah seharian memasang senyum palsu di tempat kerja, aku masih harus memasang senyum palsu juga di rumah. Aku memang menyedihkan.


“Aku cuman lelah, Mas. Kamu pulang aja malam ini. Aku mau beberes kamar.”


Dimas melongo karena ini adalah penolakan pertama dariku untuknya. Ia mengangguk dan membereskan barang-barangnya. “Oh, iya. Arga sudah pindah sekolah.”


Aku menoleh heran. Kenapa ia berpikir bahwa aku penasaran dengan kabar Arga? I don't fucking care. Mau dia pindah sekolah, mau dia sakit panu, aku tidak peduli. Aku tersenyum lagi dan menjawab, “Yah, semoga Arga betah di sana.” Soal berpura-pura memang aku juaranya.


Baca juga: Gado-Gado Madura [Cerpen]