Dulu, sebelum menekuni hobi nulis, saya bercita-cita bangetlah jadi penulis fiksi, bukannya non fiksi. Tentu saja, cita-cita ini dilatari karena hobi baca novel waktu masih kecil.

Buku fiksi emang nagih banget sih, kita bisa seketika lepas dari kehidupan yang membosankan ini lalu berpetualang di dunia antah berantah dengan cara yang aman: cuma sambil rebahan.


Akan tetapi, makin tua saya jadi makin ngerti bahwa menciptakan dunia antah berantah itu nggak mudah. Ada begitu banyak hasrat dalam pikiran yang minta direalisasikan. Setelah jadi pun, biasanya karya fiksinya nggak gitu memuaskan. Nggak sebagus karya yang biasanya saya baca. Ck, ternyata membuat fiksi itu rumit war biasa.


Fiksi atau Non Fiksi: Pengalaman Menulis Cerpen


fiksi atau nonfiksi

Saya emang gak gitu suka sama cerpen, tapi sebagai pemula dalam karya fiksi, membuat cerpen bisa jadi semacam latihan sebelum nanti buat novel yang jumlah katanya minimal 50 ribu kata itu. 


Oleh karena itu, saya jadi suka membaca cerpen untuk beberapa waktu. Ada beberapa karya cerpen yang saya ingat di dalam kepala, seperti Mata yang Enak Dipandang milk Ahmad tohari atau Kisah Cinta Perias Mayat milik Agus Noor. Selain mereka, buku cerpennya Guntur Alam dan Puthut E.A juga pernah saya baca demi memenuhi rasa penasaran saya tentang cara menulis cerpen yang baik.


Dalam beberapa waktu yang lalu, saya sempat ikutan komunitas sastra gitu. Mereka memang punya visi untuk buat karya fiksi, misalnya cerpen atau novel. Akan tetapi, isinya komunitas itu emang penulis yang biasanya udah punya basis fans yang besar, misalnya di Wattpad atau punya pengalaman untuk menulis novel. 


Kegiatan mereka juga cukup padat misalnya membuat cerpen tiap dua minggu sekali, kalau nggak buat bisa kena denda. Tiap buat cerpen, mesti banget ikut mengomentari cerpen karya teman yang lain.


Menurut aku sih, komunitas tersebut punya level yang cukup tinggi sehingga orang pemula macam aku ini jadi kewalahan untuk ngikutin gayanya. Ada anggota komunitas yang bisa buat semesta fiksi yang latarnya adalah adat suatu suku tertentu. Lalu, konfliknya akan diangkat dari kelahiran anak tetua adatnya. Ngeri, kan. Mantep bener!


Ada juga yang suka banget angkat tentang kehidupan kerajaan, lalu ada juga yang suka buat cerpen abstrak yang aku sendiri nggak nangkep ini isinya apa. Wkwk, kompetensiku emang nggak wah-wah amat, jadi nggak bakalan paham sama jenis sastra aliran abstrak macam gini. 


Pada akhirnya, aku pelan-pelan mundur teratur. Lebih enak ikut komunitas ibu-ibu blogger aja, wkwk. Aturan longgar, target santuy, bisa dijalani sambil gawe dan jaga anak. 


But, anggota komunitas lawasku itu sudah ada yang berhasil. Karyanya jadi top di salah satu aplikasi membaca gratis lalu dijadikan film. Wah banget sih! 


Aku selalu salut sama orang yang punya visi konsisten semacam itu. Gak kayak aku yang cuman suka sama kemudahan dan santuynya aja. 


Pengalaman Menulis Non Fiksi


fiksi atau nonfiksi

Untuk aku, non fiksi itu lebih ke arah cari cuan aja. Sebelum melirik ke arah non fiksi secara serius, saya dulu pernah ikut nulis di aplikasi membaca berita gitu yang emang orang biasa juga bisa nulis artikelnya. Bayarannya sangat lumayan, lumayan bikin emosi, sekitar 10 ribu view untuk 1 dolar. 


Karena saya udah gak tahan sama imbalannya yang nggak naik-naik, saya nyerah sendiri. Jadinya saya buat blog aja lalu ngembangin artikel di Kompasiana. Setelah Kompasiana, saya juga jadi nyoba nulis artikel di Mojok.co. Dari sinilah karir nulis saya meningkat.


Setelah beberapa kali nulis artikel di sini, saya dapat kesempatan emas untuk ikut pelatihan nulis artikel Opini yang diselenggarakan Tempo. Selain itu, saya juga beberapa kali memenangkan lomba nulis artikel review buku sampai sempat pegang juara 2. Waktu itu yang menyelenggarakan kompetisi review bukunya adalah dari Bank Indonesia. Bangga banget lah waktu itu. 


Lalu, setelah beberapa kali keberuntungan mendekat, saya mendapatkan kesempatan untuk menulis secara part time di website Asianparent. Tepatnya selama 6 bulan saya berjuang sambil meringis untuk menulis dengan target tinggi (menurut saya). Dari website The Asianparent saya belajar banyak tentang SEO dan cara menulis agar artikel bisa ditemukan dengan mudah oleh Google. 


Di sini pula saya banyak belajar tentang dunia kepenulisan dari sisi industri. Segalanya serba cepat dan mesti segera ditulis agar nggak ketinggalan sama website lain. Capek sih, tapi seru banget. Setelah 6 bulan, saya dapat pekerjaan baru yang mesti membuat saya resign dari AsianParent. Hiks, syedih. 


Baca juga: Pengalaman Menulis di AsianParent


Menulis Sebagai Hobi


fiksi atau nonfiksi



Sekarang, saya masih nulis meskipun udah nggak seintens dulu. Soalnya kalau dulu kan nulis dijadikan skill buat cari cuan, sekarang udah enggak, sebatas hobi lah. 


Kalau udah gini saya jadi ingat tulisannya Mark Manson tentang kemampuan manusia untuk bisa melejit selama di masa kepepet. Karena nggak lagi ada di momen kepepet gini, saya memang jadi merasa kemampuan nulis saya jadi stagnan, nggak naik level. 


Di satu sisi saya merasa lega karena nggak harus ngoyo nulis untuk cari uang, di sisi lainnya jadi ngerasa ada yang hilang karena nggak lagi memaksa diri untuk keluar dari zona nyaman. Well, apapun itu, saya tentu mesti menikmati keadaan yang ada. Sekian, artikel pamer hari ini, saya mau cuci piring dulu.