lelaki penggali kubur budi setiawan plagiat agus noor

Belakangan ini, ada perbincangan yang lumayan besar dan seru di kalangan penulis high class. Tak lain dan tak bukan adalah perbincangan masalah plagiat yang dilakukan oleh Budi Setiawan.

Beliau ini, Budi Setiawan, terindikasi melakukan plagiasi pada cerpen milik Agus Noor yang berjudul Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat yang dimuat di media Kompas pada Desember tahun lalu.

Cerpen Budi Setiawan yang terduga plagiasi tersebut berjudul Lelaki Penggali Kubur yang baru saja dimuat di harian Suara Merdeka 7 Juni 2020. Sekilas memang dua karya ini seperti berbeda dan tidak saling berkesinambungan. Namun, setelah dibaca sampai selesai, kedua cerita ini memiliki kemiripan dari segi alur cerita, dari awal sampai akhir, namun dengan tokoh dan latar yang berbeda.

Sebagai awam, saya baru pertama kali melihat plagiasi semacam ini, begitu rapi dan bisa dibilang cukup niat juga, sehingga terlihat seperti karya yang baru dan berbeda.


Bagian yang Diplagiat


Pada awal paragraf, Agus Noor menceritakan soal kesulitan profesi perias mayat untuk bisa mendapatkan jodoh. Budi Setiawan mengganti narasi ini dengan tokoh laki-laki penggali kubur yang susah mendapatkan jodoh.

Pada narasi pembuka, sebenarnya tindakan plagiasi sudah dapat diduga karena kalimatnya pun memiliki kemiripan hakiki.

Cerpen Agus Noor, Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat 

Enam laki-laki yang menyatakan cinta seketika menjauhinya begitu tahu ia perias mayat. Sepertinya kematian dan cinta bukan jodoh yang baik.

Ada yang seketika pergi, dengan raut pucat, seakan melihat mayat. Ada yang dengan sesopan mungkin menghindar, selalu beralasan sedang sibuk bila ia menghubungi mengajak ketemu atau sekadar menyapa kabar, kemudian memblokir kontaknya.

Cerpen Budi Setiawan, Lelaki Penggali Kubur

Empat dari lima perempuan yang jatuh cinta padanya seketika menjauh begitu tahu lelaki itu penggali kubur. Sepertinya pekerjaan dan cintanya selalu mempunyai kisah yang menakutkan.

Ada yang seketika minggat, dengan wajah pucat, seakan melihat mayat. Ada pula yang malu-malu menolak, dengan memberikan banyak alasan yang tak masuk akal, kemudian memblokir kontaknya diam-diam.

Tokoh perempuan Agus Noor merupakan pegawai salon yang diminta khusus untuk merias mayat pada suatu kejadian, sedangkan laki-laki di karya Budi Setiawan adalah seorang anak buruh tani yang diminta menggali kubur untuk juragan tanahnya ketika meninggal nanti.

Untuk lanjutannya, semua alur terjadi sama sampai cerita berakhir tragis. Sebuah kisah tragisnya pun mirip pula, untuk tidak dibilang sama persis.

Kasus plagiat ini disikapi serius oleh Agus Noor dengan melayangkan somasi pada Budi setiawan. Iyap, somasi. Jadi, buat pihak yang suka ngambil naskah penulis di sebarang tempat tanpa izin terus dijadikan narasi di video Youtube mungkin juga perlu belajar etika hak cipta dari kejadian ini. Supaya usahanya langgeng dan berkah kan lebih enak kalau bikin afiliasi saja dibandingkan comot-comot sembarangan.

Kejadian ini cukup disikapi beragam. ada satu warganet yang berkomentar bahwa kemungkinan ini bukan plagiasi namun hanya terinspirasi. Nah, saya juga pernah begini, membaca satu artikel lalu jadi ter-trigger untuk membuat tulisan yang mengusung ide serupa.

Batasan antara plagiasi dan terinspirasi memang masih susah untuk ditaksir, apalagi buat rakyat jelata, macam saya-saya ini. Niatnya sih nggak plagiat, tapi kok mengusung ide yang sama dari awal sampai akhir?

Nah, di surat somasi yang dilayangkan oleh Agus Noor tersebut ada cuplikan undang-undang no 28 tahun 2014 tentang pelanggaran hak cipta. Tertulis di sana bahwa hak cipta dilanggar apabila seluruh atau bagian substansial dari ciptaan yang dilindungi hak cipta diperbanyak.

Jadi, berdasarkan konteks di atas, pelanggaran hak cipta nggak berdasarkan banyak atau sedikitnya bagian yang dijiplak, tapi berdasarkan substansinya. Kalau menelisik cerpen ini, em susah juga untuk nggak berburuk sangka bahwa ini hanya kejadian nggak sengaja belaka seperti kasus yang itu tuh.

Pihak Budi Setiawan sebenarnya sudah memberikan maaf online dalam akun Facebook Temanggung Berpuisi. Namun, yah mungkin ia belum membereskan masalah nya secara pribadi sehingga Agus Noor tetap melayangkan somasi sebelum melakukan tindak selanjutnya di tanah hukum.


Refleksi Soal Hak Cipta

Sejak adanya internet, plagiasi emang semakin susah untuk disembunyikan. Saya pernah  membaca artikel yang menuliskan bahwa Buya Hamka pernah terkena kasus dugaan plagiat. 

Karya besarnyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wick diduga meniru karya salah satu sastrsawan Perancis. Perdebatan ini berlangsung lumayan panas pada zaman dahulu, meski nggak sampai jadi ajang twitwar dan perkelahian antar-netizen. 

Pramoedya Ananta Toer bahkan sampai membuat tulisan yang menantang Buya Hamka untuk mengakui perbuatan plagiat tersebut. Reaksi netizen warga negara jaman lampau pun beragam. Banyak juga pihak yang membela Buya Hamka, karena kedua cerita tersebut tidak benar-benar sama. 

Yah, terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut, rasanya susah sih untuk bisa menemukan karya yang benar-benar baru. Jadi ingat kata-katanya Austin Kleon.

Meniru dari satu sumber adalah plagiat, meniru dari banyak sumber adalah riset.

So, pastikan untuk melakukan 'plagiat' dari banyak sumber, sebelum membuat karya yang terkesan baru! Sekian, saya mau cuci piring dulu.