Novel Kambing dan Hujan

Judul : Kambing dan Hujan
Pengarang : Mahfud Ikhwan
Penerbit/Tahun: Bentang Pustaka/2015
Jumlah Halaman: 374

Kambing dan Hujan adalah novel pemenang sayembara DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2014. Dengan titel seperti itu, saya pikir novel ini akan menyajikan cerita yang sarat dengan diksi yang susah dan menjelimet. Tapi ternyata novel ini begitu lembut, namun tetap bergizi seperti gambar susu di sampul depannya.

Karya Mahfud Ikhwan ini cukup spesial di hati saya. Karena kisah cinta  beda aliran antara Nu (tokoh Fauzia) dan Muhammadiyah (tokoh Miftah) seperti ini agak mewakili perasaan saya yang juga mengalami hal serupa, haha.

Mas misua beberapa kali mengkritik cara saya beribadah dan saya pun sering mengungkapkan keluhan atas dirinya yang selalu menolak undangan tahlilan.

Blurb

Kisah Kambing dan Hujan menceritakan tentang kisah cinta tak sampai antara dua anak pentolan Kiai Muhammadiyah dan NU di desa Centong. Fauzia (anak dari Kiai NU) dan Miftah (anak Kiai Muhammadiyah) tak bisa dengan leluasa mengutarakan keinginannya untuk menikah, karena buruknya hubungan penganut dua aliran tersebut.

Kisah mereka akhirnya ikut membuka alasan dan asal-usul perselisihan tiada akhir antara Muhammadiyah dan Nu di sana. Saya sangat suka dengan ritme kisah ini yang sebenarnya sangat sederhana, tapi sisi kemanusiaannya sangat mengena.

Walaupun kisah cintanya lumayan manis dan sedikit romantis, tapi kisah Fauzia dan Miftah di dalam buku ini hanyalah bahan pelengkap. Ibarat acar di nasi goreng, di mana kita tetap bisa makan nasi goreng tanpa acar. Tapi tentu lebih enak makan nasi goreng yang ada acarnya. Kira-kira begitulah penggambaran tentang komposisi cerita cinta dalam buku ini.

Buku ini bergenre maju mundur, membawa kita kembali ke masa lalu, saat para calon kiainya masih muda dan masih menjadi sahabat baik.

Sisi Romantis yang Begitu Manis


Buat saya, buku ini termasuk sangat berani membuka tabir masalah sosial yang banyak terjadi di masyarakat. Tapi, Mahfud Ikhwan berhasil menuliskannya tanpa menyakiti atau menunjukkan keberpihakkan terhadap objek tulisannya.

Nyatanya, setiap konflik yang terjadi, kedua pihak yang bertikai selalu berperan dalam menyumbangkan kesalahan. Di sinilah keberpijakkan Mahfud Ikhwan dan menuliskan konflik antara Muhammadiyah dan NU di bukunya.

Tapi, cuplikan kisah yang sangat membekas pada diri saya ialah saat karakter ayah Fauzia membujuk anaknya yang sedang mogok makan. Adegan ini terasa hangat, bagaimana seorang ayah yang begitu ingin mengabulkan permintaan anaknya, tetapi ia tidak punya daya dan upaya untuk melakukannya.

Percakapan mendalam antara Fauzia dan ayahnya membuat saya terharu berkali-kali. Kelembutan seorang ayah dapat tersampaikan dengan jelas lewat bujukan manis saat meminta Fauzia untuk makan. Aaaaaak, saya meleleh Mak.

Isu Toleransi 


Dalam beberapa pekan terakhir, isu toleransi menjadi begitu panas. Masing-masing pihak mengklaim paling toleran, padahal sama seperti kisah di buku itu, semua pihak masing-masing mengantongi kecacatannya.

Nah, secara tak langsung, buku ini juga mengajari bagaimana sikap terbaik dalam menyikapi perbedaan tata cara beribadah. Semua konflik diramu dengan satu tujuan yang jelas, yakni tercapainya perdamaian tanpa perlu mempersalahkan aliran yang dipilih. Pada akhirnya, yah, kalau bicara akhir silakan dibaca sendiri ya buku ini, saya sudah spoiler terlalu banyak.

Jadi, buku ini bukan cuma bicara soal cinta, tapi  ia juga mengajari cara menyikapi sebuah perbedaan dengan cara yang manis.

Rating: 5/5
Very recommended.