Filosofi Teras Henry Manampiring

Judul: Filosofi Teras
Penulis : Henry Manampiring
Penerbit: Kompas
Tahun: 2019
Jumlah Halaman: 346

Buku ini cukup spesial buat saya. Membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, membuat saya bisa memandang sebuah kehidupan dengan definisi yang sedikit berbeda.

Tema utama filosofis stoisisme di dalam buku ini mengajarkan para pembacanya untuk bisa menikmati sebuah kehidupan dengan cara yang begitu mudah. Definisi tentang kesuksesan yang selama ini kita ketahui, ternyata adalah sebuah nalar yang sesat!

What? Sesat?

Sinopsis 


Well, buku ini terdiri dari dua belas bab yang menurut aku padat banget! Kontennya diulas tuntas dengan gaya bahasa yang santai ditambah dengan wawancara dengan orang terkait topik yang sedang dibahas. Uniknya, tokoh yang menjadi objek wawancara gak meululu seorang ahli psikologis atau seorang terapis. Tetapi, juga seorang tokoh influencer yang udah kebal sama cyberbullying. Keren kan?


Di awal bab, om Henry Manampiring mengajak pembacanya mendalami poin-poin ketakutan yang tersembunyi. Menurut survei yang dilakukan beliau, rata-rata manusia memang memiliki seabrek kekhawatiran dengan berbagai jenis. Ada yang khawatir soal uang, pendidikan, cinta, sampai soal polotik yang sedang terjadi di negeri ini.

Yah, setiap manusia yang bisa berpikir pastilah merasa khawatir Om! Saya awalnya berpikir begitu.

Akan tetapi, setelah melihat data survei tersebut, ternyata kita semua memang tidak hidup di masa kini, melainkan di dalam ruang ketakutan masing-masing. Sehingga, yang sudah jadi orang tua, tidak bisa menikmati momen lucu anak-anaknya yang masih kecil. Yang masih jomblo tidak bisa menikmati masa-masa kesendiriannya. Dan yang sudah menikah sekalipun, tidak bisa menikmati romansa cinta ala Harlequin.

Nyatanya, harapan serta keinginan yang tidak tersedia di masa kini merupakan racun yang merenggut kebahagiaan. Lalu, apakah kita dilarang bermimpi?

Bukan gitu juga sih my looove.

Filosofi Teras mengajarkan untuk bermimpi secara realistis. Ketimbang mengkhayalkan sesutau yang sifatnya abstrak, filosofi ini menawarkan sesuatu yang lebih utama yakni kemampuan untuk bertindak nyata.

Quotes yang oke banget menurut saya ada di halaman 19, "Berpikir positif dapat membahayakan kesehatan jiwa. Mereka yang berpikir realitas jauh lebih banyak mencapai tujuan ketimbang mereka yang menerapkan berpikir positif."

Jleb kan?

So, ketimbang berharap si dia akan terus menunggu, mending langsung lakukan tindakan yang nyata kan? #Upss.

Setelah membaca buku ini, saya jadi berpikir bahwasannya motivator itu racun, huhuhu. Rasanya, ketimbang baca buku motivasi, saya jauh lebih senang membaca buku seperti ini. Sebuah filsuf, yang mengajarkan cara menjalani hidup berlandaskan nalar yang benar.

Next!

Pada bab selanjutnya kita akan dibimbing om Henry Manampiring untuk mengenali apa itu nalar yang sesat berdasarkan contoh kasus sederhana yang beliau alami sendiri dan setiap hari yakni kemacetan.

Semua orang pasi merasa kesal saat sepulang kerja tapi harus bergerumul dengan kemacetan kota Jakarta. Nah, dulu penulis juga merasakan hal yang sama. Merasa kesal terus menerus, setiap hari, pada satu hal yang sama itu sangat melelahkan buat jiwa.

Om Manampiring mengenalkan dua hal pada pembacanya, yakni sesuatu yang dapat dikendalikan dan sesutau yang tidak dapat dikendalikan. Sesuatu yang dapat dikendalikan adalah semua hal yang ada di dalam diri, yakni rasa, pikiran, usaha. Sedangkan, sesuatu yang di luar kendali adalah isi kepala orang lain, kematian, bencana alam, termasuk kemacetan.

Merasa kesal dengan segala sesuatu yang ada di luar kendali diri adalah contoh nyata nalar yang sesat. Tidak ada yang akan berubah dari kemacetan sekalipun kita merasa kesal sampai ingin meledak. Sama saja dengan berharap bahwa si dia akan menyukai diri kita. Semua itu ada di luar kendali diri.

Yang ada di dalam kendali diri adalah berusahan bersikap tenang dan menggunakan waktu luang saat terjebak macet dengan melakukan hal yang menyenangan, misalnya membaca atau stalking mantan.

Yang bisa dilakulan adalah berusaha menjaga sikap sopan, mandi dengan sabun sampai wangi, agar si dia setidaknya bisa mengingat nama kita terlebih dahulu.

Next!

Pada bab selanjutnya Om Manampiring mengajarkan siasat saat nalar yang sesat sedang mengusai isi kepala. Metode ini disebut STAR, Stop Thinking Access and Respond.

Contoh simplenya adalah ketika sedang diputusin pacar tanpa sebab yang jelas. Kesel, kan? Lantas kita mungkin akan berpikir macam-macam, mulai dari kemungkinan ia berselingkuh sampai tentang karma karena dulu kita pernah melakukan hal yang sama.

Saat sedang begini, hal perlu dilakukan adalah berhenti. Kemudian mulai pikirkan dan nilai kejadian ini dengan kacamata yang objektif (teori sih gampang Om, tapi berpikir dalam kondisi mewek begini uwe mana bisa!).

Bagaimanapun pahitnya, semua kejadian yang pernah kita alami adalah sesuatu yang berulang. Semua orang pernah mengalami hal yang sama. Sama-sama pernah merasakan kematian, rasa sakit, pengkhianatan sampai kejahatan.

We suffer in imagination than in reality. (Seneca, hlm 128)

Next!

Imunisasi mental. 

Ini adalah salah satu bab yang unik banget buat saya. Ternyata, membayangkan kemungkinan terburuk dari suatu peristiwa dapat membuat diri menjadi lebih tahan banting ketika bencana itu datang.

So, kita mesti menderita sebelum penderitaan itu sendiri datang dengan sendirinya?

Em, ya bukan gitu sih. 

Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan diterima tentu berbeda dengan membuat diri merasa menderita. Ibarat suntikan imunisasi yang memasukkan kuman penyakit yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh, mental juga perlu diberikan imunisasi agar memiliki antibodi yang kuat ketika kejadian buruk itu tiba. 

Misalnya?

Karena saya emak emak, maka contoh termudahnya adalah anak. Saya kerap memulai hari dengan membayangkan bahwa anak akan mengisi hari ini dengan bertingkah nakal, enggan tidur siang, sampai menolak makan. 

Percaya atau enggak, ketika jadi emak emak, hal simpel begini aja bisa merusak mood seharian. Betapa pentingnya menyadari bahwa anak merupakan bagian yang terpisah dari diri kita yang juga memiliki pikiran sendiri yang unik.

Stop. Next-nya baca sendiri yak. Saya mau cuci piring dulu.