Review Novel Sili Suli Surya Mentari dan Rembulan


Judul : Surya, Mentari dan Rembulan
Penulis: Sili Suli
Penerbit: Arti Bumi Intaran
Tahun : 2019
Jumlah Halaman: 469


Buat saya buku berjudul Surya, Mentari, dan Rembulan, ini cukup berbeda dengan buku lain yang pernah saya baca sebelumnya. Buku ini merupakan fiksi yang kental dengan penjelasan soal adat istiadat di Tanah Toraja, Yogyakarta, dan keadaan sosial di Indonesia sekitar abad 19. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa adat istiadat Indonesia di bagian timur memiliki begitu banyak kekayaan yang masih belum digali. Semoga di masa mendatang banyak cerita fiksi yang dapat mengangkat topik yang berlatarkan adat Indonesia Timur seperti di buku ini.

Sinopsis


Buku ini diawali dengan narasi yang menceritakan adat istiadat suku Toraja. Berlatar di tahun 1800-an dimana saat itu Belanda sudah menjajah sebagian besar pulau Jawa tetapi belum sampai ke wilayah Pulau Sulawesi. 

Saat itu, daerah Toraja yang terkenal dengan budidaya kopi juga belum mengalami penjajahan. Namun, salah satu pengusaha asal Belanda memang sudah menunjukkan niatnya untuk memonopoli perdagangan kopi di Tanah Toraja.

Nah, di sinilah keunikan budaya Toraja yang dituliskan oleh Sili Suli. Ketika ada orang asing yang ingin masuk ke dalam komunitas Suku Toraja, mereka diharuskan untuk memetik buah tomendoyan di Gunung Napo. Suku Toraja percaya bahwa hanya orang tulus yang dapat melihat dan memetik buah tomendoyan.

Seperti yang sudah dapat diduga, pihak dari Belanda tersebut tidak dapat menemukan buah tomendoyan. Mereka serta merta kembali pada tetua adat untuk mengatakan bahwa syarat yang ditentukan itu mengada-ada. Tetua adat di sana kemudian menyuruh salah satu penduduk untuk memetik buah tomendoyan untuk membuktikan bahwa buah tersebut memang ada. 

Tanpa membutuhkan waktu yang banyak, buah tersebut dapat ditemukan dalam sekejap mata. Akhirnya, pihak Belanda tersebut memutuskan untuk kembali tanpa membawa hasil apa-apa.

Ada juga kisah dari Suku Toraja yang cukup unik yakni pertandingan adu kerbau antar warga. Pertandingan adu kerbau ini memiliki gengsi yang cukup tinggi, bahkan ada kejadian di mana kerbau yang menjadi andalan banyak orang seketika enggan melakukan pertandingan karena kena guna-guna. Setelah diselidiki hal ini terjadi karena adanya pertaruhan besar-besaran yang dilakukan salah satu tokoh bangsawan di Suku Toraja yakni Tangke Bunna.

Tetapi dibandingkan kisah yang lain, upacara adat penguburan jenazah ala suku Toraja masih menjadi yang paling menarik untuk dibahas. Di awal pembukaan buku ini dituliskan adanya peristiwa salah satu bangsawan di suku Toraja yang menginginkan adanya upacara penguburan jenazah dengan tumbal manusia. Padahal upacara seperti ini sudah dilarang oleh tetua adat yang lain sehingga menimbulkan konflik yang cukup runyam.

Narasi tentang adat ala suku Toraja memang cukup panjang diulas oleh penulis. Konflik yang menjadi fiksi di dalam buku ini baru dimulai ketika tokoh Mataallo diculik oleh Tangke Bunna, tokoh yang memiliki dendam terhadap salah satu tetua adat. Pasalnya, Mataallo kemudian dijual sebagai budak hingga berada di tangan Raden Boedijono, seorang saudagar batik di Pulau Jawa.

Pencarian Mataallo inilah yang menjadi sentral konflik di dalam buku ini. Tokoh bernama Surya, salah satu penduduk kampung Waka sekaligus merupakan sahabat dekat Mataallo di Tanah Toraja, memutuskan untuk mencarinya hingga ke tanah Jawa bersama dua sahabatnya.  Akhirnya, pencarian Surya dan kawan-kawan bukan hanya berada di sekitar Pulau Sulawesi, dan Jawa, tetapi juga sampai ke negeri yang sangat jauh yaitu Nepal.

Kisah petualangan Surya dan kawan-kawan. Perjalanan Surya ke Pulau Jawa dan Nepal merupakan sebuah petualangan yang lumayan seru. Banyak kejadian baru nan unik yang lumayan menggelitik. Misalnya saja, saat Surya dan kawan-kawan dari kampung Waka menggunakan transportasi kereta untuk pertama kalinya. Entah kenapa saya jadi mengingat diri sendiri ketika pertama kali ke Jakarta dan merasakan sensasi naik KRL yang juga untuk pertama kalinya. Baik di tahun 1800-an maupun abad 21, kemewahan naik kereta belum bisa merata.

Kisah Surya dan kawan-kawan saat melintasi Sungai Gangga juga cukup memorial buat saya. Di tempat ini, Surya dan timnya dari Pulau Jawa terkaget-kaget melihat banyaknya mayat yang mengapung. Saya menyukai bagian penjelasan soal budaya masyarakat India yang lebih memilih mengapungkan jenazah keluarganya di Sungai Gangga, karena kepercayaan yang menganggap bahwa sungai ini suci.

Seketika, pembahasan ini kemudian ditimpali dengan banyolan bahwa ikan yang mereka makan tadi pagi juga berasal dari sungai yang sama. Kemudian, salah satu anggota dari mereka muntah hebat sampai lemas.

Kisah percintaan. Judul di dalam buku ini adalah nama dari tiga tokoh yang mengalami cinta segitiga, yakni Surya, Mentari, dan Rembulan. Di bagian awal buku, penulis menuliskan beberapa cerita kisah tentang betapa dalamnya cinta di antara Surya dan Mentari di kampuang Waka, Toraja. 

Kisah antara Rembulan dan Surya dimulai ketika Surya dan kawan-kawannya sedang berada di Yogyakarta, tepatnya saat melakukan pencarian terhadap Mataallo. Namun menurut saya kisah percintaan yang menjadi judul pada buku ini tidaklah terlalu menarik. Surya digambarkan seperti tokoh Fahri pada film Ayat-Ayat Cinta 2, lelaki yang serba bisa dan menjadi satu-satunya tokoh dengan pesona luar biasa. 

Saya awalnya sempat berharap bahwa kisah cinta Surya akan berakhir dengan sesuatu yang mengejutkan. Tetapi, ternyata tidak. Saya rasa kisah percintaan di dalam buku ini hanya merupakan bumbu dan tidak begitu berpengaruh terhadap pesan utama yang ingin disampaikan oleh penulis.

Kelebihan dan Kekurangan Novel Ini


Hal yang saya sukai di dalam buku ini adalah deskripsi budaya yang begitu detail luar biasa. Penulis menunjukkan keseriusannya dalam menggarap novel ini dengan menuliskan narasi lintas budaya, mulai dari Toraja, Jawa, sampai ke Nepal. 

Selain itu, penulis juga dapat memberikan deskripsi yang jelas tentang perjalanan Surya dan kelompok Koh Langgeng ke Gunung Sagarmatha. Mulai dari rute perjalanan, lintas geografi, sampai soal budaya setempat yang begitu mendetail, seolah-olah penulis pernah melakukan perjalanan ini secara langsung. Mungkin saja memang penulis pernah melakukan perjalanan ini secara langsung. Saya tidak tahu.

Secara keseluruhan, buku mengingatkan akan adanya karma baik, pentingnya bersikap baik dan mengingat jasa baik orang lain pada kita, serta menjaga rasa hormat pada nilai-nilai budaya setempat. Buku ini juga serupa catatan sejarah yang merekam uniknya jejak budaya Toraja di zaman dahulu.

Yang saya kurang sukai dari novel ini adalah gaya bercerita yang masih terasa datar. Pencarian Mataallo, kisah cinta segitiga antara Surya, Mentari, dan rembulan, sampai perjalanan Surya ke Gunung Nepal, dituliskan penulis seperti sebuah jurnal. Tidak ada perasaan yang diaduk-aduk ataupun emosi yang ikut memuncak tatkala tokoh utama sedang mengalami sebuah masalah.

Narasi pembuka dalam buku ini juga lumayan membosankan. Saya membutuhkan banyak waktu hanya untuk menghabiskan lima puluh halaman pertama di buku ini. Padahal bagian pembuka adalah bagian terpenting dalam sebuah buku agar pembaca dapat meneruskan proses membaca sampai menemukan konflik utamanya dan akhirnya ikut terseret dalam arus sampai kisah berakhir. 

Tapi bagaimanapun, saya tetap menyukai buku ini karena memiliki pesan yang cukup menyentil. Buku yang isinya padat dengan deskripsi adat istiadat yang kental, rasa hormat kepada alam, sampai soal norma sosial, cukup berhasil membuat saya sebagai pembaca ingin menyelami Tanah Toraja lebih jauh lagi. 

Kalau dipikir-pikir, Indonesia memang punya segudang cerita lokal yang masih perlu dieksplorasi serta dieksploitasi secara besar-besaran. Agar nanti generasi anak-anak kita yang kelak menjadi dewasa dapat ikut menikmati betapa cantiknya diri kita sebagai Indonesia. 

Sekian review hari ini. Terima kasih saya ucapkan pada kak Sili Suli karena sudah memberikan kesempatan pada saya untuk mencicipi karya yang luar biasa ini.