Di umur yang sudah kepala tiga gini, rasanya aku jadi paham bahwa masakan mama di rumah emang jadi daya tarik untuk pulang kampung. Aku yang memang sudah jauh dari rumah selama sepuluh tahun, selalu merasa begitu kangen rumah kalau sudah bulan ramadhan begini. Aku ingin sekali ada terhidang makanan di rumah tanpa perlu aku memasaknya sendiri dengan kemampuan yang payah ini. Aku ingin mencium bau bawang merah tumis, bau tempe goreng dengan bawang putih, bau ikan asin yang sedang digoreng atau bau sayur asem dengan kesegaran tomat rebus. Aku ingin.


Sore ini masih sama seperti biasanya, aku yang lelah bekerja tersaruk-saruk jalan dengan motor butut menuju pasar ramadhan dengan pilihan makanan yang segambreng. Lesu dan lemas membuatku jadi tak selera memilih makanan yang begitu banyak. Tapi juga karena lesu dan lemaslah, aku menyerah untuk memasak di jam yang sudah mepet begini.


“Bu, bungkuskan sayur bening seporsi dengan ikannya satu.” Aku meminta ibu penjual membuskuskan makanan untuk kubawa pulang.


Minuman warna-warni dengan es batu yang besar terlihat menggiurkan di tengah terik matahari yang terik begini. Anak kecil dengan ayahnya terlihat bersemangat memilih jajanan dengan berbagai warna. Ada yang berwarna putih dengan potongan pisang, aku tahu kalau yang itu, namanya amparan tatak. Kalau kue bolu dengan siraman gula merah yang banyak namanya bolu peca. Itu adalah makanan kesukaan suamiku, waktu dia masih jadi suamiku. Hahaha.


Aku sampai di rumah dengan rasa lelah yang sudah berlipat ganda. Aku ingin mandi dan melepas semua kejenuhan hari ini. Telepon berdering, aku mengangkatnya dengan semangat. Kalau jam segini ada telepon biasanya dari ibu. 


“Halo, buk.”


Ia menyerepetku dengan banyak pertanyaan. Sudah beli makanan buka puasa, tadi kerjaanku lancar atau tidak, sudah mandi atau belum, sudah dapat jodoh atau belum. Aku tertawa dengan pertanyaannya yang terakhir. Pernikahan tidak masuk dalam prioritasku. Aku sudah menyerah, toh aku memang tak bisa hamil. Paling-paling pernikahan hanya akan menyeretku dalam duka yang panjang sekali lagi, sama seperti dulu. Lebih baik sendiri. Tapi, tentu saja jawabanku adalah, “Sudah beli buk. Kerjaanku lancar. Sudah mandi. Belum dapat jodoh, habisnya ndak ada yang umurnya 20. Hahaha”


Ibu kembali mengomel, “Heh, umur 35 mana boleh pengen jodoh yang umur 20.”


“Masa gak boleh. Laki-laki 35 aja boleh nikah sama cewek 20 tahun, kenapa gak boleh dibalik?”


Aku sama sekali tak tahu kalau diomeli orangtua di usia tua merupakan sebuah momen untuk healing. Rasanya lebih enak diomeli orang tua ketimbang bos di tempat kerja. 


“Buk, aku mau masak sayur asem, kirimkan resepnya, ya.” Ia menyanggupinya.


“Kapan pulang, nduk?”


Nah, ini dia pertanyaan yang aku pun tak tahu jawabannya. “Aku usahakan bu. Aku ajukkan cuti dulu, ya, semoga bisa disetujui bos di kantor supaya bisa pulang lebaran nanti.”


Ia berdoa di telepon berharap semoga aku bisa dapat cuti, lalu telepon ditutup. Aku sudah melakukan ini selama bertahun-tahun: menyalahkan bosku atas ketidakinginananku untuk pulang ke rumah.


Aku tak ingin pulang karena takut ibu akan bertanya soal perceraian. Aku tak ingin pulang karena aku takut ibu akan tahu kalau alasanku bercerai karena persoalan aku tak bisa hamil. Aku tak ingin ia ikut bersedih karena hal itu. Makanya, sepertinya aku akan berhari raya sendirian lagi tahun ini sambil memasak sayur asem.