Tiba-tiba saja, Saya melontarkan pertanyaan pada mas misua pada suatu malam.

Mas, kok kamu nggak pengen baca artikelku di Mojok yang dapat fee 300 ribu itu?

Kamu pengen aku baca? Yaudah mana sini. 

Kok gitu jawabannya. Nggak usah aja deh. (Jawaban ngambek khas istri)

Sepotong percakapan itu akhirnya memancing saya untuk berkata bahwa dulu saya punya mimpi untuk menikah dengan pasangan yang sama-sama suka baca buku, sama-sama suka menulis.

Tapi setelah mendapatkan seseorang yang di luar ekspektasi, ternyata enak juga punya pasangan yang beda hobi. Saya jadi bisa minta tolong dalam banyak hal. 

Minta tolong menyanyikan lagu Yogyakarta pakai gitar. Minta tolong bikin desain logo blog. Minta tolong untuk buat mock up buku di instagram. Minta tolong untuk semua hal yang nggak bisa saya lakukan sendiri sama sekali. 

Dia tertawa, dan menjawab

Aku juga dulu pernah mimpi untuk menikah dengan gadis desa yang selalu nurut sama suami.

Kenapa gadis desa? Aku bertanya.

Nggak tahu juga. MUngkin karyen gadis desa itu identik dengan cantik dan nurut sama suami. 

Aku tertawa dan langsung menyahut, “Jadi, menyesal kah dapat cewek kapitalis yang disuruh bikin teh aja minta imbalan pujian langsing 10 kali?"

Jawabannya saya sensor untuk saya simpan sendiri.

Malam itu, kami mengobrol sampai rahang terasa sakit. 

Ia bercerita tentang komunitas desain yang pernah menegur salah satu anggotanya yang menggunakan aplikasi adobe palsu. 

Anggota itu beralasan bahwa bayar Adobe asli itu mahalnya minta ampun dan ia belum sanggup. 

Juga berceirta tentang aplikasi desain bernama afinity yang bayarnya cuman 400 ribu untuk seumur hidup dengan tampilan yang sudah serupa dengan adobe. 

Namun sayang disayang, aplikasi ini nggak bisa mengubah filenya dalam bentuk dot ai, sehingga nggak bisa dipakai untuk jualan gambar dan kompetisi logo di marketplace website-website terkenal.

Malam itu aku bercerita soal sastra yang kebanyakan sudah tak lagi punya cerita cinta yang santun, seperti novelnya buya hamka jaman dulu.

Padahal, semakin ke sini, cerita novel semakin beragam dengan berbagai pilihan rasa. Ada yang kece badai karena mengangkat momen sejarah di tahun 1998. Ada juga yang keren dengan mengangkat budaya dan historis sejarah Jawa. Tetapi, rata-rata tokoh utamanya selalu digambarkan dengan tingkah laku yang nggak cocok untuk dibaca anak SMA. 

Berhubung saya sudah mak-emak, membaca adegan perkembangbiakan nggak akan jadi distraksi untuk bisa memahami konflik utamanya. 

Tapi kalau yang baca anak SMA kan lumayan berabe. Padahal saya berharapnya anak bocil begitu bisa punya bahan bacaan yang berkualitas tanpa sisipan seks bebasnya.

Saya merindukan novel sastra seperti kambing dan hujan versi baru, di mana memiliki cita rasa yang tinggi, tapi tetap manteb dengan mengangkat fenomena ketika NU dan Muhammadiyah masih sering saling serang.

Saya juga bercerita tentang komunitas Institut Ibu Profesional, di mana saya kembali menemukan diri sebagai aku, bukan seorang ibu atau seorang istri. 

Penemuan tentang eksistensi diri seperti ini ternyata sebuah kebahagiaan yang belum tentu bisa ditemukan oleh ibu rumah tangga yang kehilangan lingkaran sosialnya. 

Cerita malam ini ditutup dengan sejarah suku Bugis yang enggan menikahkan anaknya dengan suku Makassar, yang ternyata punya sejarah seperti suku Sunda dan Jawa yang katanya pamali untuk saling menikah.

Sekian dulu karena rahang dan jari saya sedang nyeri semua. Cuci piringnya ditunda besok-besok.