Judul: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Jumlah Halaman: 254

Sebenarnya saya agak ragu untuk memilih karya Ziggy untuk diulas. Karena dari nama penulisnya saja sudah rumit, apalagi karyanya! Ternyata, saya salah karena sudah berekspektasi yang buruk sedari awal, hihi.

Buku ini justru terasa sebaliknya. Ceritanya terasa sederhana, namun jadi istimewa karena disajikan dengan tokoh aku  berupa anak kecil berumur enam tahun yang suka baca kamus. Menurut saya penulis berhasil membuat kesederhanaan ceritanya menjadi unik dan manis untuk dicerna pembaca.

Berkat tokoh aku pula lah, saya meneteskan air mata. Betapa anak kecil hampir selalu menjadi korban utama kebodohan orang dewasa. Fuah, saya benci menjadi dewasa.

Sinopsis

Di tanah lada adalah cerita tentang kehidupan keluarga tak harmonis yang diceritakan dari sudut "aku", gadis enam tahun bernama Salva yang tergila-gila pada buku kamus. Tokoh ayah Salva adalah lelaki yang tak tahu diri, suka menghamburkan uang dengan berjudi, kerap melakukan kekerasan pada istri dan anaknya, singkatnya tipe lelaki sampah yang tak berguna.

Tokoh "aku" menggambarkan karakter ayahnya dengan paragraf deskripsi sebagai hantu, sosok yang selalu membuat dingin suasana rumahnya. Meski begitu, rasanya Salva tidak menunjukkan gambaran emosi kebencian pada ayahnya, lebih kepada takut atau kecewa.  Bahkan, penulis kerap mengubah emosi negatif yang muncul menjadi bahan yang mengandung humor gelap. Mungkin ini salah satu asyiknya membaca dari sudut pandang tokoh anak kecil. 

Cerita ini diawali dengan kematian kakeknya yang akan membawa keluarga mereka pindah ke rusun Nero, rusun jelek dekat kasino favorit si tokoh ayah. Setelah mendapatkan warisan, perilaku ayah Salva semakin menggila. Ia menjadi semakin kasar dan semakin giat berjudi.

Petualangan Salva dimulai dari rusun Nero, di mana ia bertemu tokoh bernama P, seorang anak kecil laki-laki berumur sepuluh tahun yang juga sama-sama sering dianiaya oleh ayahnya. Dengan cepat mereka berdua segera terpaut erat. 

Suatu peristiwa besar terjadi. Orang tua Salva berkelahi lagi. Sebuah perkelahian yang besar sampai Salva dan ibunya terusir dari rusun Nero. Tapi, Salva yang sudah telanjur terikat emosi dengan P tak segan meninggalkan ibunya dan kembali ke rusun Nero untuk bermain dengan P.

Dari sinilah petualangan Salva dengan P dimulai. P yang juga terusir dari rusun memutuskan untuk mengikuti Salva kabur ke rumah neneknya di tanah yang kaya akan lada (sepertinya sih maksud penulis ini adalah Lampung). Dua orang anak kecil, berbekal telepon genggam, tanpa uang sepeser pun berniat pergi dari Jakarta menuju Tanah Lada tanpa pengawasan orang dewasa. Perjalanan panjang inilah yang membuka ruang baru untuk Salva dan P dalam memaknai kehidupan. Stop, saya sudahi spoilernya sampai di sini.

Poin Plus-Minus di Tanah Lada

Ini adalah cerita yang umum dan seringkali kita dengar. Kekerasan di dalam rumah tangga masih kerap mewarnai tumbuh kembang anak  menjadi poin yang sangat bagus untuk menemani tokoh utama bermain. Yang membuat cerita ini terasa begitu berbeda adalah sudut pandang Salva sebagai anak berumur enam tahun dalam menceritakan kepedihan dengan gayanya yang unik. Meski genrenya sedih pake banget, tapi Salva dengan gaya polosnya itu membuat saya lebih santai dalam menikmati cerita yang penuh derita para tokohnya. 

Terkadang buku ini terasa sedikit menjemukan karena "aku" dari sudut pandang Salva seringkali meracau khas anak kecil. Beberapa poin cerita jadi kurang terasa gregetnya namun di beberapa latar kejadian lainnya justru racauan ini terasa begitu menghanyutkan. Menurut saya, bagian Salva yang suka meracau memang sedikit terlalu banyak.

Cinta Anak yang (Katanya) Abadi *Spoiler Alert

Saya pernah membaca tentang hal ini di Instagram teman, bahwasanya cinta anak kepada orang tuanya itu abadi. Seandainya ada anak yang benci pada orang tuanya itu lebih kepada rasa rindunya yang tak terbendung pada kasih sayang yang alpa ia dapatkan. 

Entah itu benar atau tidak, tapi saya cukup setuju bahwa setiap anak pastilah berharap ia akan dicintai sepenuh hati oleh kedua orangtuanya. Endingnya yang miris membuat saya teringat dengan ending film Parasite. Nyelekit, tapi begitulah rasanya realita. Recommended.